Saturday, 19 March 2011

JIKA ENGKAU TERTIMPA SUATU MUSIBAH, MAKA JANGANLAH ENGKAU KATAKAN ...

JIKA ENGKAU TERTIMPA SUATU MUSIBAH, MAKA JANGANLAH ENGKAU KATAKAN ...

oleh Bicara Hidayah pada pada 10hb Mac 2011 pukul 11.09 pagi

Bersambung dari :  TETAP SEMANGAT DALAM HAL YANG BERMANFAAT (1)
[http://www.facebook.com/note.php?note_id=134251976644869]

Dari Abu Hurairah, Rasulullah -صلی الله علیﻪ و سلم- bersabda (artinya),
    “Mukmin yang kuat lebih baik dan lebih dicintai oleh Allah daripada mukmin yang lemah. Namun, keduanya tetap memiliki kebaikan. Bersemangatlah atas hal-hal yang bermanfaat bagimu. Minta tolonglah pada Allah, jangan engkau lemah. Jika engkau tertimpa suatu musibah, maka janganlah engkau katakan: ‘Seandainya aku lakukan demikian dan demikian.’ Akan tetapi hendaklah kau katakan: ‘Ini sudah jadi takdir Allah. Setiap apa yang telah Dia kehendaki pasti terjadi.’ Karena perkataan law (seandainya) dapat membuka pintu syaitan.” (HR. Muslim) [Muslim: 47-Kitab Al Qodar, An Nawawi – rahimahullah  membawakan hadits ini dalam Bab "Iman dan Tunduk pada Takdir"]

LALU sabda Nabi صلی الله علیﻪ و سلم, “Jika engkau tertimpa suatu musibah, maka janganlah engkau katakan: ‘Seandainya aku lakukan demikian dan demikian.’” Maksudnya di sini adalah setelah engkau semangat dan giat melakukan sesuatu, juga engkau tidak lupa meminta pertolongan pada الله, serta engkau terus melakukan amalan tersebut hingga usai (selesai), namun ternyata hasil yang dicapai di luar keinginan, maka janganlah engkau katakan: “Seandainya aku melakukan demikian dan demikian.” Karena mengenai hasil adalah di luar kemampuanmu. Kamu memang sudah melaksanakan sesuatu prosedur yang diperintahkan, namun الله pasti tidak terkalahkan dalam setiap putusan-NYA.
    “Dan الله berkuasa terhadap urusan-NYA, tetapi kebanyakan manusia tiada mengetahuinya.” (Yusuf: 21)
Misalnya: Seseorang ingin melakukan perjalanan jauh dalam rangka mengunjungi saudaranya. Namun di tengah jalan mobil yang dia gunakan rusak. Akhirnya dia pun kembali, lalu berkata: “Seandainya aku tadi menggunakan mobil lain tentu tidak akan seperti ini.” Kami katakan: “Janganlah engkau katakan demikian. Engkau memang sudah giat melakukan amalan tersebut. Seandainya الله menghendakimu sampai ke tempat tujuan, itu pun karena takdir-NYA. Akan tetapi saat ini, الله tidak menghendakinya.”



Jika seseorang telah mencurahkan seluruh usaha untuk melakukan suatu amalan, namun hasil yang diperoleh tidak sesuai keinginan, maka pada saat ini hendaklah ia menyandarkan segala urusannya pada الله karena hanya Dia-lah yang menakdirkan segalanya. Oleh karena itu, maksud hadits ini adalah: “Jika engkau telah mencurahkan seluruh usahamu, juga tidak lupa meminta pertolongan pada الله, lalu hasilnya tidak tercapai, maka janganlah engkau katakan: ‘Seandainya aku melakukan demikian, maka nanti akan demikian dan demikian’.” Ketetapan mengenai hal ini telah ada, tidak mungkin hal tersebut diubah kembali. Urusan tersebut telah ditetapkan di Lauh Al Mahfuzh sebelum penciptaan langit dan bumi.

Apa hikmah tidak boleh mengatakan ‘Seandainya aku melakukan demikian, maka pasti akan demikian dan demikian’? Hal ini diterangkan dalam perkataan Nabi صلی الله علیﻪ و سلم selanjutnya, “Karena perkataan law (seandainya) dapat membuka pintu syaitan.”

Maksudnya apa? Yaitu perkataan law (seandainya) dalam keadaan seperti ini akan membuka rasa was-was, sedih, timbul penyesalan, dan kegelisahan. Akibatnya karena rasa sedih semacam ini, engkau pun mengatakan, “Seandainya aku melakukan demikian, maka pasti akan demikian dan demikian.”

A Helping Hand - Three children wander the streets of the Muslim Quarter of the Old City, Jerusalem.

Kata law (seandainya atau andaikata) biasa digunakan dalam beberapa keadaan dengan hukum yang berbeda-beda. Berikut rinciannya sebagaimana dijelaskan oleh Syaikh Muhammad bin Sholeh Al Utsaimin dalam Qoulul Mufid (2/220-221), juga oleh Syaikh ‘Abdurrahman bin Nashir As Sa’di dalam Bahjatul Qulub (hal. 28) dan ada beberapa contoh dari kami.

Apabila ucapan ’seandainya’ digunakan untuk memprotes syari’at, dalam hal ini hukumnya haram. Contohnya adalah perkataan: “Seandainya judi itu halal, tentu kami sudah untung besar setiap harinya.”

Apabila ucapan ’seandainya’ digunakan untuk menentang takdir, maka hal ini juga hukumnya haram. Semacam perkataan: “Seandainya saya tidak demam, tentu saya tidak akan kehilangan kesempatan yang bagus ini.”

Apabila ucapan ’seandainya’ digunakan untuk penyesalan, ini juga hukumnya haram. Semacam perkataan: “Seandainya saya tidak ketiduran, tentu saya tidak akan ketinggalan pesawat tersebut.”

Apabila ucapan ’seandainya’ digunakan untuk menjadikan takdir sebagai dalih untuk berbuat maksiat, maka hukumnya haram. Seperti perkataan orang-orang musyrik:
    “Dan mereka berkata: ‘Jikalau الله Yang Maha Pemurah menghendaki tentulah kami tidak menyembah mereka (malaikat).’” (Az Zukhruf: 20)
Apabila ucapan ’seandainya’ digunakan untuk berangan-angan, ini dihukumi sesuai dengan yang diangan-angankan karena terdapat kaedah bahwa hukum sarana (Eng: medium, means, tool, alat, jalan) sama dengan hukum tujuan.

Jadi, apabila yang diangan-angankan adalah sesuatu yang jelek dan maksiat, maka kata andaikata dalam hal ini menjadi tercela dan pelakunya terkena dosa, walaupun dia tidak melakukan maksiat. Misalnya: “Seandainya saya kaya seperti si fulan, tentu setiap hari saya bisa berzina dengan gadis-gadis cantik dan elok.”

Namun, apabila yang dianggan-angankan adalah hal yang baik-baik atau dalam hal mendapatkan ilmu nafi’ (yang bermanfaat). Misalnya: “Seandainya saya punya banyak kitab, tentu saya akan lebih paham masalah agama.” Atau kalimat lain: “Seandainya saya punya banyak harta seperti si fulan, tentu saya akan memanfaatkan harta tersebut untuk banyak berderma.”

Apabila ucapan ’seandainya’ digunakan hanya sekedar pemberitaan, maka ini hukumnya boleh. Contoh: “Seandainya engkau kemarin menghadiri pengajian, tentu engkau akan banyak paham mengenai jual beli yang terlarang.”


Setelah kita berusaha melakukan yang bermanfaat, lalu tidak lupa memohon pertolongan pada الله dan kita tidak mendapatkan sesuatu yang diinginkan, janganlah sampai lisan ini mengatakan: “Seandainya aku melakukan demikian dan demikian, …” Oleh karena itu, Nabi kita صلی الله علیﻪ و سلم pun mengatakan, “Akan tetapi hendaklah kau katakan: ‘Ini sudah jadi takdir الله.” Maksudnya adalah ini semua sudah menjadi takdir dan ketetapan-NYA. Apa saja yang الله kehendaki, pasti Dia laksanakan.
    “Sesungguhnya Tuhanmu Maha Pelaksana terhadap apa yang Dia kehendaki.” (Huud: 107)
Tidak ada seorang pun yang berada di bawah kekuasaan-NYA mencegah kehendak-NYA. Jika Dia menghendaki sesuatu, pasti terjadi. Akan tetapi, wajib engkau tahu bahwa الله tidak melainkan sesuatu melainkan ada hikmah di balik itu yang tidak kita ketahui atau pun sebenarnya kita tahu. Yang menjelaskan hal ini adalah firman الله سبحانا وتعاﱃ,
    “Dan kamu tidak mampu (menempuh jalan itu), kecuali bila dikehendaki الله. Sesungguhnya الله adalah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.” (Al Insan: 30)
Ayat di atas menjelaskan bahwa kehendak الله berkaitan dengan hikmah dan ilmu. Betapa banyak perkara yang terjadi pada seseorang, namun di balik itu ada akhir yang baik. Sebagaimana pula الله سبحانا وتعاﱃ berfirman,
    “Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu.” (Al Baqarah: 216)
Banyak cerita mengenai hal ini. Ada sebuah kejadian kecelakaan pesawat terbang di Saudi Arabia yaitu penerbangan Riyadh-Jeddah. Penumpang yang akan menaiki pesawat terbang tersebut adalah lebih dari 300 penumpang. Salah satu pria yang akan menaiki pesawat tersebut pada saat itu sedang menunggu di ruang keberangkatan, namun ketika itu dia tertidur. Kemudian diumumkan bahwa pesawat sebentar lagi akan berangkat. Ketika pria yang tertidur itu terbangun, ternyata pintu pesawat telah tertutup kemudian pesawat pun lepas landas. Akhirnya, pria tadi sangat sedih karena ketinggalan pesawat. Kenapa dia bisa ketinggalan pesawat? Namun, الله memiliki ketetapan yaitu di tengah perjalanan ternyata pesawat tersebut mengalami kecelakaan. Subhanallah, laki-laki tersebut ternyata yang selamat. Awalnya dia sedih dan tidak suka karena ketinggalan pesawat. Namun ternyata hal itu baik baginya.

The cascading domes and six slender minarets of the Sultanahmet Mosque [Masjid Sultan Ahmad] better known as the "Blue Mosque" dominate the skyline of Istanbul. In the 17th century, Sultan Ahmet I wished to build an Islamic place of worship that would be even better than the Hagia Sophia, and the masjid named for him is the result. The two great architectural achievements now stand next to each other in Istanbul's main square.

Oleh karena itu saudaraku, jika engkau telah mencurahkan seluruh usaha dan engkau meminta pertolongan pada الله, namun hasil yang dicapai tidak seperti yang engkau inginkan, janganlah engkau merasa sedih hati. Janganlah engkau mengatakan, “Seandainya aku melakukan demikian dan demikian, pasti akan…” Jika engkau mengatakan seperti ini, maka akan terbukalah pintu syaitan. Engkau pun akan merasa was-was, gelisah, sedih, dan tidak bahagia. Yang sudah terjadi memang sudah terjadi. Tugasmu hanyalah memasrahkan semua urusanmu pada الله ‘azza wa jalla. Oleh karena itu, katakanlah, “Apa yang الله kehendaki, pasti terlaksana.”


Hadits ini juga menunjukkan beriman kepada takdir dan ketetapan الله, di samping itu kita harus melakukan usaha (sebab). Dua hal inilah yang merupakan kaedah pokok yang ditunjukkan dalam dalil yang amat banyak dalam Al Kitab dan As Sunnah. Keadaan agama seseorang tidaklah sempurna melainkan dengan meyakini takdir dan melakukan usaha. Segala macam perkara pun tidak akan sempurna melainkan dengan dua hal ini. Karena maksud sabda Nabi صلی الله علیﻪ و سلم: “Bersemangatlah dalam hal yang bermanfaat bagimu, …”, ini maksudnya adalah perintah untuk melakukan usaha baik dalam urusan dunia maupun agama.

Masjid Sultan Omar Ali, Bandar Seri Begawan, Brunei Darussalam
Dalil yang lain yang menunjukkan hal ini adalah sabda Nabi صلی الله علیﻪ و سلم:
Dari Umar bin Al Khoththob radhiyallahu ‘anhu berkata bahwa Nabi صلی الله علیﻪ و سلم bersabda,
    لَوْ أَنَّكُمْ تَتَوَكَّلُونَ عَلَى اللهِ حَقَّ تَوَكُّلِهِ لَرَزَقَكُمْ كَمَا يَرْزُقُ الطَّيْرَ ، تَغْدُو خِمَاصاً وَتَرُوحُ بِطَاناً “Seandainya kalian betul-betul bertawakkal pada الله, sungguh الله akan memberikan kalian rizki sebagaimana burung mendapatkan rizki. Burung tersebut pergi pada pagi hari dalam keadaan lapar dan kembali sore harinya dalam keadaan kenyang.” (HR. Ahmad, Tirmidzi, dan Al Hakim. Dikatakan shohih oleh Syaikh Al Albani dalam Silsilah Ash Shohihah no. 310)
Ibnu ‘Allan mengatakan bahwa As Suyuthi mengatakan, “Al Baihaqi mengatakan dalam Syu’abul Iman:
    “Hadits ini bukanlah dalil untuk duduk-duduk santai, enggan melakukan usaha untuk memperoleh rizki. Bahkan hadits ini merupakan dalil yang memerintahkan untuk mencari rizki karena burung tersebut pergi di pagi hari untuk mencari rizki. Jadi, yang dimaksudkan dengan hadits ini –wallahu a’lam: Seandainya mereka bertawakkal pada الله سبحانا وتعاﱃ dengan pergi dan melakukan segala aktivitas dalam mengais rizki, kemudian melihat bahwa setiap kebaikan berada di tangan-NYA dan dari sisi-NYA, maka mereka akan memperoleh rizki tersebut sebagaimana burung yang pergi pagi hari dalam keadaan lapar, kemudian kembali dalam keadaan kenyang. Namun ingatlah bahwa mereka tidak hanya bersandar pada kekuatan, tubuh, dan usaha mereka saja, atau bahkan mendustakan yang telah ditakdirkan baginya. Karena ini semua adanya yang menyelisihi tawakkal.” (Darul Falihin, 1/335)
Al Munawi juga mengatakan,
    “Burung itu pergi pada pagi hari dalam keadaan lapar dan kembali ketika sore dalam keadaan kenyang. Namun, usaha (sebab) itu bukanlah yang memberi rizki, yang memberi rizki adalah الله سبحانا وتعاﱃ. Hal ini menunjukkan bahwa tawakkal tidak harus meninggalkan sebab, akan tetapi dengan melakukan berbagai sebab yang akan membawa pada hasil yang diinginkan. Karena burung saja mendapatkan rizki dengan usaha sehingga hal ini menuntunkan pada kita untuk mencari rizki.” (Lihat Tuhfatul Ahwadzi bi Syarhi Jaami’ At Tirmidzi, 7/7-8)
Imam Ahmad pernah ditanyakan mengenai seorang yang kerjaannya hanya duduk di rumah atau di masjid. Pria itu mengatakan, “Aku tidak mengerjakan apa-apa sehingga rizkiku datang kepadaku.” Lalu Imam Ahmad mengatakan, “Orang ini tidak tahu ilmu (bodoh). Nabi صلی الله علیﻪ و سلم telah bersabda, الله menjadikan rizkiku di bawah bayangan tombakku.”  Dan beliau صلی الله علیﻪ و سلم juga bersabda (sebagaimana hadits Umar di atas). Disebutkan dalam hadits ini bahwa burung tersebut pergi pada waktu pagi dan kembali pada waktu sore dalam rangka mencari rizki. (Lihat Umdatul Qori Syarh Shohih Al Bukhari, 23/68-69)



Syaikh Muhammad bin Sholeh Al Utsaimin mengatakan,
    “Seandainya, kalau kita menelusuri terus kandungan hadits ini, niscaya kita akan dapati faedah yang amat banyak. Namun itulah manusia, terkadang mereka melanggar wasiat Nabi صلی الله علیﻪ و سلم yang sangat berharga ini.
    Sebagian kita kurang bersemangat melakukan hal yang bermanfaat baginya, malah semangat jika melakukan hal yang berbahaya atau hal yang tidak ada bahaya dan manfaat. Siang dan malam hanya dia lewati dengan sia-sia, tanpa faedah, dan sirna begitu saja.
    Jika dia memang melakukan hal yang bermanfaat, lalu dia tidak memperoleh hasil sebagaimana yang diinginkan, akhirnya dia akan menyesal. Perlahan-lahan keluar dari lisannya, “Seandainya saya melakukan ini dan ini, pasti akan …” Sikap semacam ini tidaklah tepat. Selama seseorang sudah berusaha melakukan yang bermanfaat baginya dan tidak lupa meminta kemudahan dari الله untuk menyelesaikan urusan tersebut, maka serahkanlah semuanya pada الله.”


Muhammad Abduh Tuasikal


::: Khamis, 5 Rabi'ul Akhir 1432 | Khamis, 10 Mac 2011 ::::
[ Semua Gambar Adalah Hiasan ]

_________________________________
Dipetik Dari:
http://muslim.or.id/akhlaq-dan-nasehat/tetap-semangat-dalam-hal-yang-bermanfaat-2.html
Tajuk Asal: TETAP SEMANGAT DALAM HAL YANG BERMANFAAT (2)

Shared By Bicara Hidayah

Referensi:
  1. Bahjatu Qulub Al Abror wa Qurrotu ‘Uyuni Akhyar fi Syarhi Jawami’il Akhbar, Syaikh ‘Abdurrahman bin Nashir As Sa’di, Maktabah ‘Abdul Mushowwir Muhammad ‘Abdullah, cetakan pertama 1425 H
  2. Dalilul Falihin li Thuruqi Riyadhis Sholihin, Muhammad ‘Ali bin Muhammad bin ‘Allan Asy Syafi’iy, Asy Syamilah
  3. Qoulul Mufid Syarhu Kitabit Tauhid, Syaikh Muhammad bin Sholeh Al Utsaimin, Darul ‘Aqidah, cetakan pertama 1425 H
  4. Syarh Riyadhus Sholihin, Syaikh Muhammad bin Sholeh Al Utsaimin, Mawqi’ Jami Al Hadits An Nabawi
  5. Tuhfatul Ahwadzi bi Syarhi Jaami’ At Tirmidzi, 7/7-8, Asy Syamilah
  6. Umdatul Qori Syarh Shohih Al Bukhari, 23/68-69, Asy Syamilah
Shared By Bicara Hidayah

إِنَّ اللَّهَ وَمَلَائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيمًا

“Sesungguhnya Allah dan para malaikat-Nya bersalawat (memuji dan berdoa) ke atas Nabi. Wahai orang-orang yang beriman bersalawatlah kamu ke atasnya serta ucapkanlah salam dengan penghormatan. “ [Al-Ahzab: 56]

No comments:

Post a Comment